Article Image

SAGA

Minoritas Menanti Langkah Progresif di Rancangan Perpres PKUB

"Rancangan Perpres PKUB ditargetkan terbit 2024. Substansinya diharapkan bisa memudahkan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas. "

Warga melintas di depan mural bertema keberagaman di Kampung Gandekan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (3/1/2018). (Antara/M Ayudha).

KBR, Lombok - Impian Helen belum berubah, ingin punya gereja sendiri dan beribadah dengan tenang. Helen adalah pendeta di Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (GPIBI) Amanat Lombok, NTB. Jumlah jemaatnya sekitar 170 orang.

"Kami nggak muluk-muluk. Masih diizinkan untuk ibadah sekarang aja sudah bersyukur sekali, apalagi kalau bisa memiliki tempat. Kesetaraan untuk bisa beribadah karena bagaimanapun juga kami warga negara yang pengin punya hak yang sama di negara ini," kata Helen.

Meski sudah puluhan tahun berdiri, GPIBI Amanat Lombok belum punya bangunan gereja sendiri. Mereka beribadah berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel lain. Biaya sewanya Rp5 juta rupiah per bulan.

Sebelumnya, ibadah sempat digelar di rumah Helen. Namun, muncul penolakan.

“Bukan (dari) warga sini, orang lain dari jauh datang ke sini beberapa kali saat kami ibadah. Saya yang keluar, saya tanya, 'ada keperluan apa?', 'saya pengin masuk, pengin lihat', 'kami lagi ibadah', saya bilang gitu. Dan kalau malam, mereka datang juga, seperti, mengintimidasi,” kenang Helen.

Suwardi, suami Helen, yang juga pendeta di GPIBI Amanat Lombok menyebut upaya intimidasi terjadi berulang kali.

“Yang paling menakutkan, 25 juli 2015. Mereka ada mungkin sekitar 10 orang semuanya bawa pentungan. Tongkatnya di-tek-tek-tek (dibunyikan) di pagar, bolak-balik. Itu memang waktu itu. Saya memilih tidak keluar. Saya khawatir kalau saya keluar, potensi konflik ada dan itu akan menarik perhatian masyarakat di sini," cerita Suwardi.

Pada Januari 2016, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Lombok Barat menerbitkan larangan ibadah di rumah Helen, karena belum mengantongi izin.

“Kami kadang-kadang seperti pasrah, udah nggak tahu harus berbuat apa. Yang sering saya sampaikan ke teman-teman di FKUB, 'apa iya, hanya untuk ibadah saja, mesti harus membayar mahal?'," ucap Suwardi.

Kasus GPIBI Amanat Lombok hanya gambaran kecil dari situasi kebebasan beragama atau berkeyakinan di tanah air. Banyak kasus pendirian rumah ibadah terjadi di berbagai daerah.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Tahun 2006 menjadi sumber masalahnya. Desakan agar PBM 2006 dicabut, berulang kali disuarakan.

Baca juga: Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah di Kota Mataram

Suami istri pendeta GPIBI Amanat Lombok, Suwardi dan Helen berada di salah satu ruangan di rumah mereka, yang pernah digunakan untuk beribadah . (Foto: KBR/Zainudin)

Penyederhanaan

Pemerintah akhirnya bergerak menyusun rancangan Peraturan Presiden Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (rancangan Perpres PKUB). Kementerian Agama selaku koordinator sudah merampungkan draf dan menyerahkannya ke Kemenko Polhukam akhir 2023 lalu.

Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbi menyebut Perpres PKUB ditargetkan terbit 2024.

Rancangan Perpres PKUB memuat terobosan berupa penyederhanaan izin rumah ibadah. Menurut Anna, nantinya pemberian izin cukup dari Kementerian Agama, tak perlu lagi melalui FKUB. Selain itu, skema 90/60 dihapus.

“Dengan perpres ini, aturan pendirian rumah ibadah itu seragam, dari sabang sampai merauke, mengacunya pada satu aturan saja. Kalau dulu kan, karena memang ada kewenangan dari pemda, makanya jadi ada perbedaan dari satu daerah ke daerah lain. Yang 90/60 itu kan terkait dengan wewengan pemerintah setempat. Dengan syarat Kemenag ini ya otomatis (90/60) tidak ada," ujar Anna.

Sebelumnya, skema 90/60 kerap menjadi batu sandungan bagi kelompok minoritas. Aturan ini mewajibkan pemohon izin rumah ibadah harus memiliki minimal 90 penganut dan disetujui setidaknya 60 warga sekitar.

Penghapusan skema ini mendapat dukungan putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid yang dikenal sebagai pegiat keberagaman.

“Itu kan sama kayak kyai mau bikin pondok pesantren. Jadi seharusnya nggak perlu pakai izin-izin begitu, itu hak agama kok. Adanya peraturan 90/60 itu sebetulnya justru melanggengkan rasa takut kepada pendirian rumah ibadah orang lain, dan yang kedua, rentan diskriminasi, rentan majoritarianism,” tutur Alissa.

Pendapat berbeda diungkapkan Masduki Baidlowi, juru bicara Wakil Presiden Maruf Amin. Menurutnya, skema 90/60 layak dipertahankan, termasuk soal kewenangan FKUB memberi rekomendasi pendirian rumah ibadah.

"Filosofinya bagaimana tercipta komunitas di sebuah tempat ibadah, jangan ada tempat ibadah tapi nggak ada komunitas di sekitarnya. Itu yang kemudian orang, menjadi tidak nyaman. Misalnya komuinitas Kristen banyak di situ, tetapi kemudian ada masjid, tapi nggak ada orang Islam di situ, ya orang Kristen nggak nyaman dong. Lha komunitas itu berapa? maka kemudian timbul angka 90/60, (aturan) yang lama, yang sudah berjalan saya kira kalau sudah bagus, nggak usah diubah, ngapain diubah lagi?," imbuh Masduki.

Masduki mengakui Maruf adalah peletak awal rumusan rancangan Perpres PKUB, tetapi belakangan tidak terlibat lagi dalam pembahasan.

Baca juga: SEKA Pontianak: Semai Kerukunan, Lestarikan Lingkungan

Jemaat GKI Yasmin menggelar ibadah perayaan Natal di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Senin (25/12/2017). Kasus GKI Yasmin berlangsung hingga 15 tahun. Masih banyak konflik pendirian rumah ibadah yang hingga kini belum selesai. (Antara/Sigid)

Syarat fungsi

Sementara itu, Komnas HAM berpandangan, proses perizinan rumah ibadah perlu disederhanakan. Karenanya, penghapusan kewenangan FKUB dan skema 90/60 adalah langkah tepat kata Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid. Di PBM 2006, pemohon izin rumah ibadah harus melewati tiga tahap.

“Lapisan pertama kan persetujuan warga, yang kedua, dari FKUB rekomendasi, ketiga, izin mendirikan bangunan dari pemda. Tiga lapis hambatan untuk mendirikan rumah ibadah bagi kelompok minoritas. Dan untuk menembus lapisan itu nggak bisa, (nggak) mudah, butuh waktu lama," ujar Pramono.

"Mending perizinan itu, misalnya, (dari) Kementerian Agama setempat, itu lebih wajar, karena bagian dari negara. FKUB itu statusnya apa? wakil negara bukan, wakil dari masyarakat juga kadang bukan," imbuhnya.

Pramono mengingatkan pemerintah bertugas melindungi dan memenuhi HAM, termasuk hak beragama dan berkeyakinan. Pemenuhan hak boleh dibatasi dengan aturan, tetapi dasarnya bukan pada angka, melainkan kebutuhan nyata pemeluk agama. Aturan juga mesti berbasis tata kelola, jangan bias kepentingan agama tertentu.

“Tidak boleh berdasarkan hitungan yang sifatnya kuantitatif, tapi berdasarkan tata aturan, misalnya rencana tata ruang wilayah (RTRW). Apakah misalnya wilayah ini memang boleh didirikan rumah ibadah, kalau wilayah ini adalah RTH (Ruang Terbuka Hijau) ya nggak boleh ada bangunan, kalau wilayah ini khusus perumahan, wilayah komersial, ya tidak boleh ada rumah ibadah. Kemudian, apakah tersedia fasilitas parkir?," jelas Pramono.

Yogi Febriandi, akademisi IAIN Langsa, Aceh juga menilai syarat kuantitas selama ini menjadi sumber diskriminasi bagi kelompok minoritas. Yogi mencontohkan umat Kristen di Kabupaten Aceh Tamiang yang tidak memiliki gereja. Tiap pekan, mereka harus beribadah ke Langsa atau ke Sumatera Utara.

“Bayangkan mereka tiap minggu untuk beribadah harus pergi ke provinsi lain. Itu kan sangat-sangat diskriminatif, persoalannya memang mereka tidak memenuhi syarat izin, KTP masyarakat yang memberi izin untuk membangun rumah ibadah itu tidak terpenuhi. Karena alasan inilah FKUB dan pemerintah Aceh merasa, kalau tidak adanya gereja di Aceh Tamiang, itu bukanlah pelanggaran, karena memang tidak memenuhi syarat kuantitas,” kata Yogi.

Baca juga:

Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)

Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)

Yogi Febriandi, akademisi IAIN Langsa, Aceh, mendukung syarat kuantitas dihapus dari perizinan rumah ibadah, karena banyak memunculkan diskriminasi bagi kelompok minoritas. (Foto: dok pribadi)

Pada kasus lain, kata Yogi, syarat kuantitas juga dijadikan alasan menutup gereja di Lhokseumawe.

“Gereja Oikumene di dalam PT Arun ditutup karena dianggap tidak memiliki jemaat dan ditolak oleh masyarakat. Padahal kebanyakan jemaatnya adalah mahasiswa yang sedang kuliah di Lhokseumawe, mereka dari berbagai daerah dan latar denominasi, dianggapnya tidak memiliki anggota atau jemaat yang resmi,” kata anggota Institute for the Study of Freedom of Religion or Belief (ISFORB).

Karenanya, Yogi mendukung syarat kuantitas seperti skema 90-60 dihilangkan. Pendirian rumah ibadah mestinya memakai syarat fungsi, karena berdasarkan kebutuhan faktual di lapangan.

Selain itu, Yogi juga mendorong pemerintah mengevaluasi rumah-rumah ibadah yang sudah ada. Jika tidak digunakan lagi, bangunan bisa dialihfungsikan.

“Misalnya ada di kawasan yang muslimnya mayoritas, kayak di Aceh, di NTB, masjid itu sangat banyak, dan tidak semuanya berfungsi dengan semestinya. Karena bangunan yang terlalu besar dengan jumlah jemaah yang tidak sampai setengah kapasitas,” ujar dia.

Di sisi lain, rancangan Perpres PKUB yang disusun Kemenag dinilai masih punya kelemahan dari aspek legalitas. Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid, menuturkan, payung hukumnya mesti berbentuk undang-undang, sebab lebih kokoh dan partisipatif.

“Karena UU HAM mengatur (bahwa) pembatasan itu boleh syaratnya adalah diatur dalam UU atau putusan peradilan. Nah, dari sisi legislasi yang demokratis, ya kurang demokratis, karena hanya sepihak. Kalau dengan DPR kan, rakyat bisa mengasih masukan ke komisi-komisi (DPR) sehingga aspirasi masyarakat bisa ditampung,” ucap Pramono.

Penulis: Zainudin Syafari, Lea Citra, Ninik Yuniati

Editor: Ninik Yuniati