HEADLINE

Banser NU: Isu Neo-PKI Hanya Pengalihan Isu

""Wong di negara asalnya di Sovyet saja (komunisme) sudah bubar," kata Komandan Banser NU Cilacap, Jamaluddin."

Banser NU: Isu Neo-PKI Hanya Pengalihan Isu
Ilustrasi Red Scare, fenomena ketakutan terhadap komunisme di Amerika Serikat. (Foto: Tom Lin/Creative Commons)

KBR, Cilacap – Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah menganggap paham komunis sudah bangkrut sehingga tidak mungkin berkembang di Indonesia.

Komandan Banser Cilacap, Jamaluddin Albab mengatakan di negara asal komunis, Soviet (kini Rusia), komunis sudah tumbang. Itu sebabnya ia menganggap hembusan munculnya isu neo-PKI hanya sebagai kabar bohong yang meresahkan.


Jamal mengklaim pihaknya juga mencari tahu atribut PKI di sejumlah wilayah di Cilacap setelah muncul isu pembagian kaos atau atribut PKI lainnya. Namun, kenyataannya, atribut itu tidak ada.


Ia justru menilai hembusan bangkitnya PKI ini hanya untuk pengalih isu saja.


"Itu sudah diputuskan oleh MPR bahwa PKI haram hidup di Indonesia.  Masa sekarang mau tumbuh lagi? Mau masuk lagi? Kayak tong sampah Indonesia ini. Wong di negara asalnya di Sovyet saja sudah bubar. Kalau di tingkat masyarakat, sepertinya tidak (mungkin tumbuh lagi). Namun kalau melihat kepentingan global, atau melihat di orang-orang pusat, ya nggak tahu. Sengaja dihembuskan, dimunculkan. Nyatanya di bawah tidak ada (kebangkitan komunisme)," kata Jamaluddin Albab, Kamis (19/5/2016).


Komandan Banser NU Cilacap Jamaluddin menganggap wajar sweeping atau razia atribut simbol PKI oleh aparat negara. Namun, ia mengkritik tindakan represif aparat dianggapnya sudah kebablsan. Antara lain dengan menyasar buku-buku kiri yang dianggap sebagai propaganda komunis. Padahal, menurut Jamaluddin, buku-buku semacam itu rata-rata merupakan bacaan umum mahasiswa dan kaum terpelajar.


Jamaluddin juga menganggap berlebihan sikap dari Perpustakaan Nasional yang sempat mendukung pemusnahan buku-buku kiri. Ia menilai sebagai gudangnya ilmu, perpustakaan justru wajib memiliki perbendaharaan buku yang lengkap.


"Jika perpustakaan memiliki koleksi buku lengkap, termasuk buku kiri, masyarakat bisa menilai secara ilmiah dan logis. Dengan demikian, kelemahan  komunisme ditilik dari gagasan dan konteks sejarah bisa diketahui secara fair," kata Jamaluddin.


(Baca: Istana: Kepala Perpustakaan Nasional Overdosis! )


Isu kebangkitan PKI atau komunisme di Indonesia muncul mendadak melalui salah satu akun media sosial Facebook, dan disebarluaskan oleh kelompok-kelompok antikomunisme di Indonesia. Aparat segera merespon dengan melakukan penindakan terhadap pemilik atau pengguna simbol-simbol yang mengarah pada lambang komunisme dan PKI. Intelijen TNI bahkan menyita buku-buku kiri dari toko buku dan rumah warga.


(Baca: Menhan Ryamizard Sisir Buku Kiri dengan PNPS/1963 )


Di Ternate Maluku Utara, intelijen TNI menangkap dua orang karena memiliki kaus bergambar simbol palu arit, dan menyita sejumlah buku kiri. Dua orang itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Ternate, Maluku Utara. Reaksi aparat kepolisian dan TNI itu mengundang protes berbagai lapisan masyarakat.


(Baca: Ombudsman: Penangkapan & Penyitaan Buku Kiri Terindikasi Maladministrasi )


Belakangan, Presiden Joko Widodo melarang reaksi aparat yang berlebihan tersebut. Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan pelarangan buku kiri harus melalui keputusan pengadilan.


(Baca: Pelarangan Buku Kiri, Kejagung: Harus Melalui Pengadilan )


Editor: Agus Luqman 

  • komunisme
  • PKI
  • buku kiri
  • Banser NU
  • Nahdlatul Ulama
  • TNI
  • Polri
  • Cilacap
  • Jawa Tengah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!