INDONESIA

Komunitas LGBT di Indonesia: ‘Polisi Harusnya Melindungi Kami’

Ilustrasi

Januari lalu, Menteri Riset dan Teknologi atau Menristek, M Nasir, melarang kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender atau LGBT masuk kampus. Alasannya karena mereka bisa merusak moral bangsa.

Pasca pernyataan itu, kecaman terhadap komunitas LGBT pun bermunculan.

Mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta UNDP tidak membiayai kegiatan LGBT, hingga seorang  walikota yang memperingatkan kalau mie instan bisa mengubah anak menjadi gay.

Bila berita soal LGBT di media mulai mereda, banyak kelompok LGBT yang tetap menutup diri. 

Kita simak laporan yang disusun Nicole Curby berikut ini.

Dalam tiga bulan terakhir, tercatat ada seratus lebih kasus yang melibatkan kelompok LGBT di delapan provinsi. Kasus-kasus itu di antaranya ujaran kebencian, kekerasan seksual hingga serangan kala menggelar pertemuan.

Catatan itu berasal dari organisasi hak-hak LGBT, Arus Pelangi. 

Satu kasus yang mereka alami misalnya, terjadi awal tahun ini. Ketika mereka mengadakan pelatihan bagi aktivis LGBT dari seluruh Indonesia, justru diancam FPI. 

“FPI melaporkan pelatihan kami dan meminta polisi melarang pelatihan ini. Polisi mendorong manajemen hotel agar pelatihan segera diakhiri. Kami memutuskan mengevakuasi semua peserta karena ada 20 polisi di hotel dan peserta benar-benar ketakutan. Ini benar-benar gila. Kami harus pindah,” kisah Ryan Korbarri dari LSM Arus Pelangi.

Sejak itu, Arus Pelangi lebih berhati-hati, misal dengan menyembunyikan alamat kantor dan menolak menerima tamu. 

Kata Direktur Arus Pelangi, Yulita Rustinawati, kehati-hatian itu cukup beralasan. Ia pun menceritakan sepasang gay di Sumatera Barat yang diusir dari rumah mereka belum lama ini. 

Sepasang kekasih itu menurut Yulita, sudah tinggal di sana bertahun-tahun. Tapi, masyarakat tiba-tiba memusuhi, memeras dan melaporkan mereka ke polisi. 

“Masyarakat berpikir mereka mengotori kampung karena mereka adalah pasangan gay. Mereka harus membayar satu juta rupiah untuk membersihkan kembali kampung itu. Kemudian setelah itu, pasangan gay itu tidak diizinkan lagi tinggal di sana,” kata Yulita.

Malah di ibukota Jakarta yang ramai dan modern, sebagian komunitas LGBT takut untuk pergi ke bar --tempat yang kerap dikunjungi kelompok gay. 

Mereka khawatir kalau-kalau digerebek polisi atau diserang kelompok intoleran. 

Dan, rentetan kekerasan terhadap komunitas LGBT pun bergema di seluruh negeri.

Di Yogyakarta, pesatren waria Al Fatah terpaksa ditutup setelah kelompok fundamentalis mengancam akan menyerang tempat itu pada Februari lalu.

Polisi bahkan mengaku, tidak bisa memberikan perlindungan dan mendesak agar pesantren itu ditutup.

Tapi pemimpin pesantren, Sinta Ratri, berkeras akan membuka kembali pesantrennya di lokasi yang sama, meski ada ancaman serangan lanjutan.

“Saya berharap bisa membuka kembali pesantren ini dan  dapat izin dari pemerintah. Tapi kelompok fundamentalis mengancam akan menyerang kalau pesantren kembali dibuka,” tekad Sinta.

Meski Sinta dan yang lainnya mengatakan mereka merasa aman di lingkungannya, intimidasi dan ancaman kekerasan dari kelompok intoleran membuat posisi mereka rentan.

Pasalnya, kelompok intoleran dapat berbuat semaunya dan kebal hukum. 

Itu terlihat pada insiden Maret lalu. Acara feminis Lady Fast yang digelar di Yogyakarta diserang kelompok intoleran. 

Namun ketika polisi tiba, polisi membubarkan acara itu dan menangkap tiga panitia penyelenggara. Sementara kelompok intoleran dibiarkan.

“Polisi kan harusnya melindungi warga negara, tidak peduli apa agama atau orientasi seksual Anda. Termasuk melindungi kami. Tapi mengapa mereka tidak melakukannya?” tuntut Yulita.

Yulita juga mengatakan, makin terlihat dan terbukanya komunitas LGBT, maka ketegangan dengan kelompok konservatif juga makin besar.

“Ini terjadi karena kami mulai menyuarakan hak-hak kami. Di sisi lain kelompok intoleransi, yang suka main hakim sendiri, juga bertambah banyak.”

Sementara histeria telah lenyap dari berita utama, serangan dan ujaran kebencian tetap dirasakan komunitas LGBT. Mereka merasa gejolak ini belum akan berakhir.  

  • Nicole Curby
  • LGBT Indonesia
  • arus pelangi
  • pesantren waria

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!