Article Image

SAGA

Orang dengan HIV (ODHIV) Bisa Menikah dan Punya Anak

"Sebagian ODHIV masih takut memulai hidup baru termasuk menjalin relasi, menikah, maupun punya anak. Keterbatasan informasi dan kuatnya stigma jadi kendala."

Mural sosialisasi pencegahan HIV/AIDS di Taman Palu, Sulawesi Tengah (Foto: M Hamzah/Antara)

KBR, Jakarta - Belum terbersit di benak Fanya (bukan nama sebenarnya) untuk kembali berumah tangga. Selalu ragu, tiap kali ada laki-laki yang mendekat.

“Sampai sekarang aja aku nggak nikah, belum berani,” kata Fanya.

Fanya cemas jika harus mengungkap statusnya sebagai Orang dengan HIV (ODHIV).

“Aku nggak terlalu serius juga (berelasi). Dia juga nggak tahu status aku, takutnya ntar dia nggak jadi,” tuturnya.

Ia tertular dari sang suami yang telah meninggal lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Beruntung, putri semata wayangnya, dites negatif.

Dulu, ketika Fanya dinyatakan positif HIV, ia sempat terpukul hebat. Sampai meminta hidupnya diakhiri saja.

“Zaman itu di tv (sinetron) suami minta ama dokter suruh suntik istrinya, karena nggak tega lihat istrinya. Nah, aku bilang ke dokter aku, ‘dok bisa nggak aku minta suntik mati kayak yang di tv? RS kan nggak mau nyuntikin mati,” kenang Fanya.

Fanya perlahan bangkit setelah berkenalan dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). Di sana, ia belajar bagaimana hidup dengan HIV.

Meski begitu, sampai kini status sebagai ODHIV tetap ia tutup rapat, hanya diketahui segelintir orang terdekat. Ia khawatir distigma dan didiskriminasi.

Hal itu nyata ditemuinya saat beberapa kali diminta merawat orang dengan HIV/AIDS. Pekerjaan ini kerap disebut layanan sahabat pendamping (buddy).

Fanya pernah merawat pasien yang dikucilkan keluarganya sendiri.

“Aku nge-buddy di hotel, dia ambil yang dua bed. Kalau (keluarga) besuk ke hotel, nggak mau ke kamar. Kita temui di mobil Alpard, gimana nggak punya rumah? Kenapa harus nyewa hotel? Alasannya mereka punya anak kecil, takut ketularan,” Fanya bercerita.

Masih banyak keluarga pasien tak paham tentang HIV, sehingga perilaku mereka cenderung diskriminatif.

“Jadi pas dia (pasien) meninggal, ‘tolong ya obat-obatannya dibawa semua, jangan sampai ada yang kebawa ke rumah’. Sampai kayak balsem, minyak urut, minyak gosok, dikasih ke saya. Kipas, kalau suka kepanasan, dikasih ke saya,” imbuh dia.

Dihadapkan pada lingkungan yang tak ramah seperti ini, membuat Fanya enggan menjalin relasi baru.

Baca juga: Ropina Tarigan, Pengasuh Ratusan Anak dengan HIV/AIDS

Cerita inspiratif

Hartini Rahayu, punya nasib berbeda. Ia begitu bangga tiap kali menunjukkan foto-foto keluarga. Anak-anak dan suaminya HIV negatif.

Dua anak terakhirnya adalah buah dari pernikahan saat Hartini sudah berstatus HIV positif, tertular dari suami terdahulu.

Selama beberapa waktu, ia hidup menjanda, bahkan menutupi statusnya sebagai ODHIV, karena takut kena stigma.

“Mulailah di 2011 awal itu aku melihat di salah satu tabloid, ada (artikel) ‘Saya Positif, Anak Saya Tidak’. Wah keren nih, walaupun latar belakangnya berbeda, dia dari pecandu, aku dari ibu rumah tangga,” kata Hartini.

Sejak itu, asa Hartini kembali menyala. Ia tekun mencari segala informasi tentang HIV, salah satunya dengan aktif di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

“Oh ternyata, orang HIV boleh menikah dengan yang negatif, ternyata boleh melahirkan normal, ternyata boleh menyusui. Oh ternyata ada programnya nih pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak,” ujar perempuan kelahiran Indramayu, Jawa Barat ini.

Hartini kemudian berjumpa dengan laki-laki HIV negatif yang mau menerima keadaannya. Mereka menikah dan berencana memiliki anak.

“Kebetulan dapat dokter yang sangat luar biasa, dr.Ekarini di (RS) Tarakan. Beliau benar-benar mendukung, ‘ayo nggak harus sama yang HIV, yang penting laki lo tahu’,” Hartini menirukan ucapan dokternya.

Hartini dan suami disiplin menjalankan program pencegahan penularan HIV.

“Akhirnya di 2014 aku melahirkan dengan proses persalinan normal. Walaupun tantangannya adalah mencari petugas yang mau melayani proses (persalinan) itu, waktu 2014, sangat kesulitan. Tapi akhirnya saya berhasil melahirkan normal, di Puskesmas Sawah Besar bahkan, dan saya berhasil menyusui,” terang dia.

Kebahagiaan Hartini mendadak sirna saat suaminya berpulang. Bukan karena HIV/AIDS, tetapi penyakit jantung.

“Ini Tuhan maunya apa ya? gue dikasih sakit, kagak mati, terus dikasih kebahagiaan yang semua orang itu mendambakan, punya suami baik, punya anak-anak yang lucu, keluarga yang harmonis. Di saat saya bahagia-bahagianya kok kamu ambil sandaran satu-satunya hidupku. Sampai aku bilang, Tuhan yang minum obat itu gue, yang sakit itu gue, kenapa dia yang mati?” kenang Hartini.

Selang beberapa waktu, Hartini bertemu dengan lelaki berusia 10 tahun lebih muda. Ia juga HIV negatif dan paham tentang penularan HIV. Keduanya lantas menikah dan punya seorang anak.

“Suamiku yang ini sudah tahu konsep bahwa virus HIV-nya tidak terdeteksi sama dengan tidak menularkan. Jadi dia bilang sama dokter, ‘saya nggak mau kondom ya, Dok. Karena saya juga pengin punya anak. Saya akan memastikan istri saya minum ARV. Jadi kalau dia nggak minum ARV, saya yang jewer, Dok, artinya dia mau menularkan kepada saya’,” kisah Hartini.

Baca juga: Ayu Oktariani, Menawar Hidup Lewat Petisi

Hartini Rahayu, dinyatakan positif HIV pada 2008 tertular dari suami terdahulu. Ia sempat dua tahun menyembunyikan status HIV-nya karena khawatir dengan stigma dan diskriminasi. (Foto: KBR/Ninik)

Sampai sekarang, suami dan anak-anak Hartini, tetap HIV negatif.

“Kadang-kadang ada yang bertanya, apa sih bedanya orang HIV dengan tidak HIV? kayaknya nggak ada bedanya, cuma gue minum obat seumur hidup dan elo nggak. Itu aja sih, kalau secara hak, berhak bahagia, dan segala macam, sama aja,” tutur Hartini.

Di berbagai forum termasuk media sosial, ia aktif memberikan edukasi bahwa ODHIV bisa menikah dan punya anak yang sehat. Asalkan, disiplin menjalankan program pencegahan penularan HIV.

“Kalau dokter yang ngomong, ‘nggak apa-apa, Mbak, nanti bisa melahirkan, bisa punya anak, negatif’, dalam hati si perempuan (ODHIV) ‘lo tahu apa? gue yang positif HIV, gue yang bingung ini lagi ngapain’. Tapi kalau yang bicara adalah teman sebaya, ‘nggak apa-apa, saya juga HIV, ini anak saya’, saya rasa mereka jauh lebih yakin, ‘oke dia aja bisa kok anaknya negatif, kenapa saya enggak’,” imbuhnya.

Emak Club

Pada 2018, Hartini membentuk Emak Club sebagai bagian dari program pencegahan penularan HIV di IPPI.

“Emak Club itu melakukan pendampingan pada, perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan, pada perempuan hamil yang ditemukan HIV positif, sama bayi yang terlahir dari ibu yang positif HIV,” kata Hartini yang menjabat Kepala Divisi Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak IPPI ini.

Total tak kurang dari 1100-an ibu dan anak yang Emak Club dampingi. Mereka tersebar di banyak provinsi di antaranya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.

“Pendampingan ini tidak ada gaji. Mereka (pendamping) hanya mendapatkan insentif, tidak seberapa, tapi pekerjaannya luar biasa, (misalkan) nggak punya BPJS, oh caranya begini sampai punya BPJS, ada yang nggak punya surat nikah karena mereka tidak menikah, tapi anaknya bisa punya akte,” jelas Hartini.

Para pendamping Emak Club rata-rata adalah perempuan ODHIV. Hartini berharap ada dukungan pendanaan dari pemerintah untuk pencegahan penularan HIV/AIDS, khususnya, dari ibu ke anak.

“Kalau ada pendanaan terkait itu, kenapa tidak diberikan kepada orang yang benar-benar spesifik mendampingi ibu hamil,” pungkasnya.

Penulis: Ninik Yuniati