CERITA

IPT 1965, Basuki Wibowo: Kami Diperintah Membuat 2 Gereja Dalam Semalam

""Ketika Pangkobkaptib, beliau datang, kami diperintah membuat dua gereja dalam semalam. Kami cara seperti halnya melakukan dibagi-bagi. Itu buat kami perbudakan.”"

IPT 1965, Basuki Wibowo: Kami Diperintah Membuat 2 Gereja Dalam Semalam
Ilustrasi International People's Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda.

KBR, Jakarta - Tujuh hakim kasus kejahatan kemanusiaan 1965 duduk berjejeran. Tepat di hadapan mereka, ada tujuh jaksa penuntut umum.

Ini adalah Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 1965. Insiden yang sudah 50 tahun berlalu itu, hingga kini tak menemukan titik terang.


Karena itulah, sidang rakyat digelar di Kota Den Haag, Belanda. Sidang perdana menghadirkan dua saksi korban dan tiga saksi ahli.


Helen Jarvis, yang merupakan salah satu hakim asal Australia, mengawali sidang dengan seuntai doa.


“Kami semua mengerti betapa sulit dan berat ibu dan bapak untuk datang ke sini begitu jauh dari kampung halaman. Supaya membuka pengalamannya 50 tahun lalu yang begitu pahit. Kami juga sadar bapak ibu harus mengatasi banyak hambatan dalam perjalanan ke sini. Kami ingin mengucapkan terima kasih dan ketetapan hati dari para saksi. Tanpa kesaksian dan penelitian kami tidak bisa menjalankan tugas sebagai hakim.”


Sidang pun dibuka dengan mendengarkan kesaksian Basuki Wibowo –bukan nama sebenarnya demi alasan keamanan. Ia bercerita tentang dirinya dan perbudakan yang dialaminya selama sembilan tahun di Pulau Buru.


“Saya adalah anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang tadinya organisasi mahasiswa dan pelajar. Tapi kami semua ini adalah organisasi yang anti pada perpeloncoan. CGMI itu tadinya adalah organisasi yang disebutkan oleh bekas pelajar di Yogja, Bogor dan Jakarta, tapi kemudian difungsikan menjadi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia,” ungkapnya dari balik tirai hitam.


Wibowo ditangkap pada awal Oktober 1965. Ia pun mendekam dari satu penjara ke penjara lain. Hingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru.


“Saya ditangkap Batalyon yang kemudian dipindahkan ke polisi dan dibawa ke markas polisi. Setelah itu, dibawa ke truk ke Wirogunan lalu Nusa Kambangan dengan kereta api yang dipaku semua. Itu pagi hari sampai Nusa Kambangan jam 11. Setelah itu saya dipindahkan ke kamp Ambarawa punya militer. Dari Ambarawa dibawa kembali ke Nusa Kambangan langsung pakai kapal ke Pulau Buru.”


 Di Pulau Buru, Wibowo dipaksa bekerja.


“Kami satu rombongan umumnya mahasiswa. Dan di sana dipekerjakan sebagai petani dan kami kerap kali mendapatkan pemaksaan dari pihak militer. Kami disuruh bekerja sebagai petani dan penggergajian. Karena dari penggergajian itu penghasil dari papan yang kemudian sebagian dijual para penjaga.”


Wibowo bahkan masih ingat betul perbudakan yang terjadi kala itu; disuruh membuat dua gereja dalam satu malam.


“Yang namanya kerja paksa betul-betul kerja paksa, waktunya tidak jelas meskipun jam 5 sudah selesai, tapi jam 9 tidak ada masalah. Seperti yang diceritakan pak Asvi. Ketika Pangkobkaptib, beliau datang, kami diperintah membuat dua gereja dalam semalam. Kami cara seperti halnya melakukan dibagi-bagi. Itu buat kami perbudakan.”


Makanan yang diberi pun ala kadarnya, termasuk daging tikus dan ular.


“Kalau makanan yang bulan pertama diberi pemerintah, nasi dan lauk pauk ala kadarnya. Kemudian kami hidup sendiri sebagai petani dan mendapat penghasilan dari Pulau Buru itu dijual oleh komandan unit tapi kami dapat sebagian. Makanan nasi, kemudian kadang dapat lauk baru umpamanya tikus, burung, ular yang terpanjang kami tangkap enam hingga sembilan meter.”


Sembilan tahun ditahan di Pulau Buru, tanpa proses pengadilan. Padahal dirinya sama sekali tak bersalah dan tak terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).


“Yang kami ketahui saat itu, golongan C orang-orang yang terlibat tapi tidak terbukti. Saat saya diperiksa di Jogjakarta, menulis di BAP huruf C dilingkari merah. Kami baru tahu C itu tidak punya bukti dan tidak terlibat. Ada golongan A yang terlibat dan punya bukti sehingga bisa diadili.”


Tak hanya Wibowo yang bersaksi, Ngesti, seseorang yang pernah meneliti pembunuhan massal di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga punya cerita. Ikuti kisah bagian kedua .





Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • Pengadilan Rakyat Internasional
  • den haag belanda
  • Helen Jarvis
  • Basuki Wibowo
  • Toleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!