CERITA

Nyanyian yang Dibungkam, Banda Neira: Kami Merasa Terhormat Membawakan Lagu Penyintas 65

"“Jadi lagu itu sebetulnya masih ketat-ketatnya penjagannya, setelah ada Amnesty datang tahun 1974 dapat kelonggaran. Dengan kelonggaran itu muncul ide, membuat musik dalam penjara, band kerontjong.""

Quinawati Pasaribu

Nyanyian yang Dibungkam, Banda Neira: Kami Merasa Terhormat Membawakan Lagu Penyintas 65
Banda Neira tampil di Goethe Haus, Jakarta, menyanyikan tembang Tini dan Yanti. Foto: KBR

KBR, Jakarta - Jenawi adalah penyintas kasus 65. Bersama Natar, ia dan R. AmirudinTjitraprawira membentuk band kerontjong, ketika mendekam di bui.

Natar, bekas tahanan politik 65 asal Gianyar, Bali, bercerita.

“Jadi lagu itu sebetulnya masih ketat-ketatnya penjagannya, setelah ada Amnesty datang tahun 1974 kita dapat kelonggaran. Dengan kelonggaran itu muncul ide, membuat musik di dalam penjara, band, musik kerontjong. Semua bahan kita bikin di situ, gitar, cello, bass, itu bikinan sendiri. Pak Amir pintar biola, saya paling cukulele. Dan, tidak gratis bikin itu, sebagian masih diambil mereka. Kita sebagian kecil menikmati. Jadi kita pada waktu tidak ada plilihan lain, selain kasih. Ya kita sekadar bisa keluar sel untuk berjemur. Malangnya di situ,” ungkap Natar pada KBR di Jakarta.

Natar tak ingat betul berapa banyak lagu yang mereka ciptakan ketika dipenjara di Pekambingan.

“Saya kira banyak, tapi saya tidak hapal semua ya. Yang saya ingat, Tini dan Yanti, Si Buyung, Dekon, kalau Latini tidak hapal. Seperti lagu Sekeping Kenangan, itu saya tidak hapal. Yang paling saya hapal lagu-lagu daerah itu, seperti Dekon misalnya.”

Selama setengah abad, lagu-lagu ciptaan para tapol itu terkubur bersamaan dengan kian rentanya para penyintas 65.

Kini, sekelompok anak muda di Bali, Taman 65, mencoba menggubah tembang itu. Tujuannya menjadi penanda ingatan akan peristiwa berdarah 1965. Di mana para penyintas telah dirampas hak azasinya dan diperlakukan “berbeda” tanpa ada proses pengadilan. 


 

Made Maut, penggagas ide itu bercerita, tak mudah merangkai ulang kepingan lirik lagu itu.


“Ya jadi kita mulai dari satu tempat belum siap, masih lupa beberapa lirik, mereka suruh tanya ke orang lain. Kita pergi ke sana, lalu mereka kumpul. Ya, akhirnya kita rekam dan cari nada,” ujar Made Maut.


Natar bahkan mengatakan, mengingat lagu itu seperti membangkitkan “hantu” yang sudah lama terkunci.


“Susah sekali, karena kita keluar 1978 dan lagu-lagu itu tahun 1974/1975. Terus anak-anak ini (Taman 65) tahun 2012, itu kan jaraknya panjang sekali. Apalagi kita kesibukan masing-masing, cari makan. Ada ide anak-anak ini, ya kita bilang bagus. Kita kontak teman-teman yang masih ada, jadi siapa yang ingat bagian ini, bagian itu. Lama mengumpulkan itu,” timpal Natar.


Made Maut juga mengatakan, tidak mudah menemui para penyintas yang ingat lirik lagu-lagu itu.


“Pertama kita mencar-mencar ada sekitar sembilan tapol tapi khusus untuk lagu, kita mengerucut pada orang-orang atau pemain bandnya.”


Setelah memakan waktu hampir tiga tahun, enam lagu pun rampung. Made lantas meminta sejumlah musisi muda menyanyikan ulang tembang tersebut. Mereka di antaranya Jerinx SID, Dadang Navicula, dan Banda Neira.


“Mereka sebetulnya teman-teman nongkrong juga di Taman 65, kita sering bawa acara dan mereka tahu kegiatan kita. Saat kita dapat beberapa lagu, kita rampungkan semua. Jadi pilih, siapa yang cocok bawa lagu ini. Saya juga sudah kabari sejak lama. Setelah lagu rampung, saya samperin mereka satu-satu.”


Rara Sekar, vokalis Banda Neira bercerita, tawaran menyanyikan lagu Tini dan Yanti/Sejarah Akan Membebaskanku, sudah sejak tahun lalu. Ketika itu, ia dan Nanda Badudu langsung mengaransemen ulang supaya renyah di telinga.


“Pas kita dengar, lagunya versi Made Maut, blues banget terus aku sama Nanda digarap ulang. Sampai akhirnya dapat sih, terutama kita tahu tentang apa lagunya. Pas tahu cerita dibaliknya, kata-katanya sangat dalam. Bahkan jadi hymne di penjara Pekambingan. Jadi lebih ngena terus kita terhormat bisa membawakan lagu yang berarti buat orang lain. Kita juga mengaransemen ulang lagunya,” tutur Rara.


Lewat enam tembang itu, generasi muda tak akan lupa akan “tsunami berdarah 65”. Gugatan untuk menagih keadilan bagi para penyintas pun akan terus disuarakan. Meski sudah 50 tahun berlalu.


Editor: Quinawaty Pasaribu 
  • penyintas kasus 65
  • Nyanyian Yang Dibungkam
  • tahanan politik Bali
  • Penjara Pekambingan
  • korban 1965
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!