BERITA

Vivat International: Pelanggaran HAM di Papua Dilakukan Sistematis

""Dua kata kunci yang mengemuka, kekerasan dan marjinalisasi. Kekerasan terjadi sejak 1960-an terutama sejak peristiwa PEPERA," kata Paul Rahmat dari VIVAT International."

Vivat International: Pelanggaran HAM di Papua Dilakukan Sistematis
Aksi mahasiswa Papua di Bandung, Jawa Barat. (Foto: Arie Nugraha/KBR)

KBR, Jakarta - Keuskupan Brisbane Australia mendesak Dewan HAM dan Majelis Umum PBB menginvestigasi pelanggaran HAM di Papua.

Dalam Laporan Brisbane yang dikeluarkan Komite Justice, Peace, and Integrity of Creation (VIVAT International) menunjukkan pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua meningkat sejak tahun 1960-an.


Direktur Vivat Internasional perwakilan Indonesia, Paul Rahmat, pelanggaran yang terjadi di Papua terjadi sistematis.


"Dua kata kunci yang mengemuka, kekerasan dan marjinalisasi. Kekerasan terjadi sejak 1960-an terutama sejak peristiwa PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) atau referendum tahun 1969. Karena sebagian masyarakat menolak, resisten terhadap peristiwa itu. Mulai dari situ terjadi represi dari aparat," kata Paul.


Laporan Brisbane mencatat sejak 1960-an, terjadi banyak kekerasan terhadap masyarakat Papua. Kasus itu seperti pemboman oleh pesawat Bronco tahun 1977, pembunuhan terhadap para tokoh, dan penahanan serta pemukulan terhadap anggota KNPB yang melakukan aksi damai.


Paul melihat ada pembungkaman terhadap masyarakat Papua yang menyuarakan sikap politik mereka. Selain itu, masyarakat Papua juga terpinggirkan secara sosial, ekonomi, maupun budaya.


"Ada perubahan komposisi demografi yang cepat. Beberapa marga hilang. Tanah diambil alih," kata Paul yang juga dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur.


Paul juga menyoroti soal pendidikan dan kualitas kesehatan di Papua. Berdasarkan Laporan Brisbane, penyebaran HIV/AIDS disana meningkat dan dilakukan dengan sengaja. Paul melihat ini sebagai usaha menghabisi orang Papua.


Dari semua itu, pemerintah termasuk aparatnya ikut menjadi pelaku. Menurut Paul, mereka tidak hanya membiarkan pelanggaran terjadi, tapi secara aktif melakukan pelanggaran itu.


"Tidak hanya membiarkan. Aparat juga melakukan. Pemerintah daerah sendiri pun begitu."


Laporan mengenai pelanggaran HAM ini, menurut Paul, dimaksudkan sebagai sebuah alternatif untuk melihat Papua. Selama ini menurut Paul, masalah Papua tidak pernah dilihat dari sisi korban.


Februari lalu, tim dari Keuskupan Brisbane datang ke Papua. Disana, mereka berbincang dengan warga mengenai kondisi sosial di Papua.


Kunjungan ini dilakukan setelah proposal dari Pemimpin Tinggi Forum Kepulauan Pasifik ditolak Pemerintah Indonesia. Pada September 2015, mereka mengajukan proposal untuk menurunkan tim pencari fakta. Tim itu tadinya akan bertugas mencari fakta soal kondisi di Papua. Namun hingga saat ini tidak jelas alasan Pemerintah menolak tim tersebut.


Paul juga melihat pemerintah Indonesia semestinya berdialog dengan para pemimpin Papua, termasuk pemimpin UNLWP. Ia mengecam tindakan pemerintah yang justru menangkap para aktivis yang akan melakukan aksi damai.


Keuskupan juga mendesak Pemerintah Australia menimbang ulang latihan dan bantuan finansial kepada pemerintah Indonesia dalam bidang militer.


Editor: Agus Luqman 

  • Papua
  • hak asasi manusia
  • HAM
  • VIVAT International
  • Australia
  • PEPERA
  • Papua Merdeka
  • referendum
  • KNPB

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!