EDITORIAL

Kebiri

"Perppu Kebiri sesungguhnya tak menjawab masalah mengapa masih adanya kejahatan seksual pada anak dan perempuan."

Ilustrasi. (Antara)
Ilustrasi. (Antara)

Meski ditentang, Presiden Joko Widodo ahirnya menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Dengan begitu, Perppu akan diserahkan ke DPR untuk disetujui atau sebaliknya; ditolak. Dalam aturan baru itu, disebutkan pelaku kejahatan seksual bakal diganjar hukuman pidana penjara minimal 10 tahun, maksimal 20 tahun, hukuman penjara seumur hidup serta hukuman mati. Ada pula tercantum hukuman tambahan; kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan pemasangan alat deteksi elektronik pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Dari semua hukuman yang tertera itu, kebiri yang paling ditentang. Karena kebiri berpotensi melanggar hak seseorang melanjutkan keturunan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga menyebut, kebiri terbukti tak efektif. Di Jerman, Amerika Serikat, Swedia dan Argentina misalnya, meski ada hukuman kebiri, kasus kejahatan seksualnya masih tinggi.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menjelaskan, kebiri yang dimaksud adalah menyuntikkan zat kimia untuk meredam hasrat seksual. Supaya pelaku tak ingin lagi berhubungan seksual dengan anak-anak. Tapi sesungguhnya itu tak menghentikan pelaku yang bisa saja melakukan kejahatan seksual dengan benda. Dan ini tak masuk dalam definisi pemerkosaan di KUHP. Pemerkosaan dalam KUHP hanya dipandang sebatas alat kelamin. Definisi pemerkosaan yang lebih luas bisa ditemukan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini di DPR.

Di sana tertera pemerkosaan adalah tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yakni vagina, anus, mulut atau anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa atau kekerasan atau ancaman kekerasan, psikis atau bujuk rayu.

Beleid inilah yang semestinya sejak dulu didorong pemerintah dan DPR untuk disahkan. Di sana, korban yang “diperkosa” berkali-kali oleh Kepolisian, Pengadilan, dan media massa, bakal dilindungi. Identitas dirahasiakan, pun wajib dilindungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Korban pun dapat pemulihan psikologi hingga sembuh seutuhnya. Plus kompensasi dari negara dan restitusi dari pelaku.

Sayangnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual baru disentuh kembali setelah mencuatnya kasus pemerkosaan pada anak di berbagai daerah. Baru pekan depan, nasibnya akan diputuskan di Bamus dan Paripurna. Jika lolos, akan dibahas di Komisi 8 DPR. Jalan masih panjang.

Perppu Kebiri sesungguhnya tak menjawab masalah mengapa masih adanya kejahatan seksual pada anak dan perempuan. Yang utama adalah peran aparat hukum memberikan hukuman setimpal terhadap pelaku. Juga pendidikan seksualitas sebagai bagian aksi pencegahan.


  • perppu kebiri
  • kejahatan seksual
  • RUU penghapusan kekerasan seksual
  • pemerkosaan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!