SAGA

[SAGA] Mencarikan Rumah untuk Anak dengan HIV/AIDS

""Ada satu anak usia 3 tahun kami temukan di rumahnya dikurung di kandang ayam. Setiap hari tinggal dan tidur di kandang. Kondisinya penuh luka di kulit, telinga keluar cairan," ucap Puger Mulyono."

[SAGA] Mencarikan Rumah untuk Anak dengan HIV/AIDS
Poster Warga Peduli HIV/AIDS. Foto: Yudha Satriawan.

KBR, Solo - Di salah satu gang sempit di Kota Solo, Jawa Tengah, ada sebuah bangunan berukuran 6m x 6m. Di dalam rumah sederhana itu, terpampang tulisan ‘LSM Lentera’.

Dan di sana, belasan anak berusia 1,5 hingga enam tahun tengah bermain; menggambar dan mewarnai. Bocah-bocah itu adalah Anak dengan HIV/AIDS. Ketika KBR berkunjung ke sana, kondisi mereka cukup memprihatinkan. Ada yang mengalami kebotakan dan yang lain sakit di bagian telinga.


Puger Mulyono, pengelola LSM Lentera bercerita, bocah-bocah itu ditampung lantaran pihak keluarga menolak membesarkan mereka. Alasannya, tak sanggup menghadapi stigma negatif HIV/ADIS. Pernah suatu kali, kata dia, relawan menemukan seorang Anak dengan HIV/AIDS ditempatkan di kandang ayam oleh keluarganya.

 

“Mereka yatim piatu dan diterlantarkan keluarganya. Saya rawat mereka, karena saya prihatin, saya iba. Ada satu anak usia 3 tahun kami temukan di rumahnya dikurung di kandang ayam. Setiap hari tinggal dan tidur di kandang. Kondisinya penuh luka di kulit, telinga keluar cairan, dan mengenaskan," ucap Puger. 


Di rumah Lentara itu pula, terpampang jadwal pemakaian obat antiretroviral (ARV). Puger pun mengajak KBR ke ruang sebelah yang berisi dua tumpukan kardus kecil obat ARV masih tersegel.


Setiap anak memiliki jadwal minum obat ARV yang berbeda, ini karena sebagian besar juga mengidap penyakit lain antara lain TBC dan mata.


“Ini obat untuk HIV, semua anak ada jadwal minumnya, setiap hari dua kali. Ini juga ada vitamin untuk mereka. Ada juga obat untuk anak yang sedang terapi TBC, dampak lain jika kena HIV kan TBC,” jelasnya.


Belasan anak-anak tersebut berasal dari berbagai daerah di Jawa tengah maupun Jawa timur. Kata Puger, beruntung karena kini ada donatur yang bersedia mengulurkan bantuan. Sementara berharap pemda berbuat serupa, tak juga terwujud.


“Alhamdulillah kendala bisa teratasi, banyak yang membantu. Selama ini donatur memang tidak banyak, tapi ya ada yang peduli. Ya kami berharap pemerintah bisa mengambil alih ini. Selama ini pengobatan mereka, kami bayar. Ya ke depan mungkin ada MoU dengan rumah sakit untuk membantu mereka,” pungkasnya.


Tak ramahnya rumah sakit pada bocah-bocah itu, diakui Pemerintah Kota Solo. Pelaksana tugas Sekretaris Daerah Pemkot Solo, Rahmat Sutomo mengatakan, pihaknya masih mencari alternatif untuk penediaan panti untuk anak-anak itu. Hanya, terkendala anggaran. Pemkot, kata dia, hanya mengandalkan WPA atau Warga Peduli HIV/AIDS.


“Kalau terkait anak-anak dengan HIV AIDS, kita sudah siapkan solusi. Kita merujuk ke pendirian panti khusus untuk mereka. Kita tidak bisa mendirikan di luar lahan milik pemerintah, kita punya beberapa alternatif lokasi tapi masih ada penolakan warga sekitar,” kata Rahmat Sutomo.


Berbagai poster bertuliskan ‘Warga Peduli HIV/AIDS’ terpasang di kawasan Mojosongo. Tapi, ketika KBR bertanya pada warga setempat, bagaimana jika ada Anak dengan HIV/AIDS ataupun ODHA yang tinggal di dekat mereka? Tak ada kata yang terlontar, justru gelengan kepala; tanda tak setuju.


Hal itu dimaklumi Puger Mulyono. Masyarakat, kata dia, belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Anak dengan HIV/AIDS. Sebab, stigma negatif masih melekat. Keluarga lebih memilih menyembunyikan bocah-bocah itu dari lingkungan sekitar.


“Sebetulnya sih kami ini terbuka di masyarakat, memberanikan diri terbuka pada masyarakat, supaya tahu bahwa hal-hal semacam ini ada di masyarakat. Tapi kalau masyarakat terus ada stigma negatif tentang ADHA maupun ODHA ya mau nggak mau ADHA dan ODHA ini harus sembunyi lagi. Di sini saja ada beberapa masyarakat yang tidak terima tentang kebaradaan kami di sini terus menerus, mungkin merasa risi dengan kami. Ya kami mau pindah nih,” imbuh Puger.


Solo tengah menuju Kota Layak Anak. Tapi, realitanya masih ada anak-anak yang ditelantarkan keluarga pun pemerintah daerahnya. Direktur LSM Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan HAM (SPEKHAM), Endang Listiyani menyebut, stigma itu tak sepantasnya diarahkan pada anak.


“Seringkali masyarakat beranggapan atau memberikan stigma HIV/AIDS itu dikarenakan perilaku seksualnya. Lha ini yang kena anak yang tidak tahu apa-apa kemudian ternyata terpapar virus HIV/AIDS yang berbahaya dan belum ada obatnya ini. Kasihan sekali. Apalagi anak-anak ini sejak lahir harus menanggung virusnya," papar Endang.





Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • anak dengan HIV/AIDS
  • LSM Lentera
  • solo
  • Puger Mulyono

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!