HEADLINE

Suara Perumus Rekomendasi Penyelesaian Tragedi '65 Pecah

"Satu kubu berkeras bahwa tragedi '65 sebagai akibat dari tindakan PKI di tahun-tahun sebelumnya, sedangkan yang lain menganggap tragedi '65 perlu dipisahkan dengan peristiwa lain, seperti 1948"

Ika Manan

Suara Perumus Rekomendasi Penyelesaian Tragedi '65 Pecah
Simposium nasional tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April 2016. Foto: Ika Manan

KBR, Jakarta - Pembahasan rekomendasi penuntasan pelanggaran kejahatan HAM pasca 1965 oleh tim perumus simposium berjalan alot. Anggota tim perumus perwakilan korban, Bonnie Setiawan mengungkapkan, suara anggota tim terpecah. Satu kubu berkeras bahwa tragedi '65 sebagai akibat dari tindakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun-tahun sebelumnya, sedangkan yang lain menganggap tragedi '65 perlu dipisahkan dengan peristiwa lain, seperti yang terjadi pada 1948.

"Sebetulnya blok tim perumus hanya terbagi dua saja. Antara yang masih pegang sejarah Orde Baru dengan yang melakukan kritik dengan sejarah Orde Baru. (Sama kuatnya?) Bukan sama kuatnya, tapi kan suara orang itu harus dihormati. Jadi bagaimana mencari titik temu aja. Saya sih masih yakin kalau ada titik temu, ya nggak papa namanya juga mencari titik temu. Karena ya harus ada hasil, harus berhasil. Karena ya sayang simposium yang sudah digelar mahal dan bersejarah itu," jelas Bonnie kepada KBR.

Ia khawatir, apabila kejadian '65 dianggap sebagai akibat dari kejadian lampau, maka pengungkapan kebenaran akan mustahil dilakukan. Lagipula, menurut Bonnie, peristiwa sebelum 1965 telah diselesaikan Presiden Soekarno melalui putusan menteri kehakiman saat itu. Sehingga pandangan yang menyebut pembantaian massal pasca Oktober 1965 adalah dampak dari peristiwa di tahun sebelumnya tak berdasar.

"Jadi begini, ada kontroversi mengenai kejadian 65 itu adalah konsekuensi logis dari tindakan PKI sebelum 65. Yang mereka bilang sebagai konflik horizontal. Mereka selalu menarik ke belakang bahkan hingga 1948. Saya sudah memberikan pandangan, sejarah 48 itu berbeda dengan 65. Sudah selesai lewat putusan Menteri Kehakiman pada 1949. Nah pihak yang tidak terima itu menggunakan klaim kesejarahan. Padahal klaim mereka itu tak bersifat kesejarahan, tetapi bersifat politik supaya ada pembenaran bahwa 65 itu akibat 48. Kalau diadu dengan kesejarahan akademis, rontok itu," jelasnya.

Hasil Sementara Rekomendasi Tak Mencerminkan Simposium Tragedi 1965

Bonnie yang juga wakil ketua panitia simposium itu mengungkapkan, hasil sementara rumusan rekomendasi tak mencerminkan rangkuman keinginan peserta simposium. Bahkan ia curiga, rekomendasi ini ditunggangi kepentingan kelompok tertentu. "Hasil simposium itu kan banyak, karena merangkum beragam sesi yang berbeda topik, mulai dari kesejarahan hingga solusi yudisial dan non-yudisial. Meski banyak diisi satu benang merah yang sama soal tuntutan korban, lalu mau dirangkum dalam sebuah laporan. Namun tak mencerminkan hasil simposium, kayaknya mencerminkan kepentingan-kepentingan yang bermain dalam hasil simposium nanti. Ini yang membuat alot," katanya.

Hingga kemarin (Kamis, 28/4), tim perumus masih kesulitan mencapai titik temu di antara kedua pendapat tersebut. Oleh sebab itu Bonnie memperkirakan, penyerahan hasil rekomendasi bakal molor. Sebelumnya, Menkopolhukam Luhut Pandjaitan menargetkan konsep penyelesaian tragedi 65/66 pada 2 Mei. "Masih ada rapat-rapat lagi, ya mungkin tenggat waktu diundur. Ya, saya kira Menko Luhut juga masih sibuk. Harusnya bisa dicapai kesepakatan, karena kan ini kepentingan bersama, kepentingan bersama," imbuhnya.

Betapapun alot pembahasan ini, putra Doktor Busono Wiwoho tersebut bakal tetap mengikuti pembahasan rumusan konsep penyelesaian hingga tuntas. Ia optimistis masih mungkin mencapai titik temu . "Saya berharap hasil akhirnya tetap mengedepankan kepentingan korban, ke penyintas. Ini yang terpenting. Rekonsiliasi ini harus jelas bentuknya, apakah hanya rekonsiliasi yang memanipulasi kebenaran atau betul-betul sebuah rekonsiliasi yang mengungkapkan kebenaran. Karena banyak pihak yang alergi dengan pengungkapan kebenaran. Banyak pihak yang alergi dengan proses yudisial," pungkasnya.

Editor: Damar Fery Ardiyan 

  • tragedi65

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!